Kamis, 18 September 2008 | 16:30 WIB
INGIN makan tapi tidak mau makanan yang berat-berat. Mengapa tidak coba pempek atau empek-empek? Khazanah kuliner khas Palembang, Sumatera Selatan, ini memiliki kandungan gizi utama berupa protein, lemak, dan karbohidrat yang diperoleh dari ikan dan tepung tapioka atau yang oleh orang Palembang biasa disebut sagu.
Pempek merupakan hasil adonan daging ikan giling dan tepung tapioka. Ikan yang dipakai biasanya belida tapi sekarang kebanyakan ikan gabus dan tenggiri. Pempek disajikan bersama saus berwarna hitam kecoklat-coklatan yang disebut cuka (atau cuko dalam bahasa Palembang). Cuko terbuat dari air mendidih yang diberi gula merah, cabe rawit tumbuk, bawang putih, dan garam.
Menurut Prof Dr Made Astawan, dosen pada Departemen Teknologi Pangan dan Gizi IPB, pempek telah ada di Palembang sejak masuknya perantau China ke daerah itu, yaitu sekitar abad ke-16, saat Sultan Mahmud Badarudin II berkuasa di Kerajaan Sriwijaya. Nama empek-empek atau pempek diyakini berasal dari sebutan "apek", sebutan untuk lelaki tua keturunan China.
Konon, sekitar tahun 1617 seorang apek berusia 65 tahun yang tinggal di Perakitan (tepian Sungai Musi) prihatin saat menyaksikan tangkapan ikan yang berlimpah di sungai itu. Hasil tangkapan itu tidak seluruhnya termanfaatkan dengan baik, paling hanya digoreng dan dipindang. Si apek itu kemudian mencoba cara pengolahan lain. Ia mencampur daging ikan giling dengan tepung tapioka sehingga menghasilkan makanan baru. Makanan baru itu dijajakan para apek keliling kota dengan bersepeda. Karena penjualnya dipanggil dengan sebutan "pek ... apek", maka makanan tersebut akhirnya dikenal sebagai empek-empek atau pempek. (Kompas Cyber Media, 24 Maret 2004). Sekarang pempek menyebar luas ke pelosok negeri ini dan menjadi salah satu kekayaan kuliner nusantara.
Rabu, 13 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar